Friday, February 13, 2015

Masterplan vs Negosiasi

CIAM IV

Sebagai pedoman pembangunan, Masterplan merujuk kepada pembagian ruang kota berdasarkan daerah fuagsi yang berbeda-beda seper-ti; daerah industri berat, daerah perumahan, daerah perdagangan, maupun. daerah kebudayaan.

Tetapi, kota bukanlah  sebuah pohon yang terbagi ke dalam ranting-ranting yang diibaratkan sebagai daerah fungsi (Lihat Alexander: a city is not a tree). Kota juga tidak dapat diatur hanya berdasarkan angka-angka populasi dan intuisi pemanfaatan lahan untuk diprediksikan ke depan. Lebih dari itu kota adalah lahan ekonomi bebas yang tumbuh berdasarkan aspek-aspek keuntungan penanaman modal, Jika Simpang-Lima dulu dibuka atas dasar ide Presidan Soekarno agar menjadi tempat rapat umum yang mampu menampung satu juta rakyat. Kenyataannya sekarang adalah memberi banyak kemungkinan untuk tumbuhnya tempat-tempat perbelanjaan, ngebut, sampai tempat mojok bagi kawula muda.

Dengan demikian Masterplan kota yang disusun oleh beberapa ahli perkotaan menjadi tidak laku lagi karena proses negosiasi lebih memiliki gigi dari pada pembagian daerah fungsi yang sering-kali terlepas dari kecenderungan pertumbuhan kota yang nyata. Sehingga ide Le Corbusier tentang kota radian yang terbagi dalam daerah-daerah fungsi yang mana sempat menggegerkan CIAM IV (Congres Internationale L'architecture Moderne) di tahun 1933 tidak semua-nya dapat berhasil di negara seperti Indonesia.

Sampai disini kiranya kita dapat mengerti mengapa Rencana Umum Kota Semarang tidak dapat dilaksanakan secara utuh bahkan mengalami penyimpangan yang demikian besar. Namun, semua ini tentu saja menunjukkan bahwa kota ini memiliki prospek pertumbuhan yang baik serta gerak dinamika pembangunan yang terus melaju.

Proses negosiasi yang terjadi di Semarang juga terjadi di kota-kota lain di dunia misalnya London. Pada satu diskusi antara mahasiswa Katholieke Universiteit Leuven dan para pakar perencana kota dari jurusan Geografi University College of London tentang revitalisasi London Dockland untuk menjadi pusat daerah bisnis, dipertanyakan apakah ada satu masterplan pengembangan London Dockland ini, jawabnya cukup menarik: Menurut Prof.M Rubber sang ketua jurusan dengan bersemangat (merentangkan tangannya lebar-lebar) berkata: "Sekarang ini bukan jamannya lagi menyusun satu master-plan, tetapi proses negosiasi. Pengembangan London Dockland tidak memiliki masterplan!" Sungguh satu jawaban yang mencengangkan. Tetapi memang begitulah sistim negara kapitalis dimana pemilik modal memiliki kemampuan bernegosiasi guna pengembangan usahanya di tempat-tempat yang strategis.

Bukan berarti kita harus mencontoh pembangunan London Dockland tetapi sebagai negara sedang berkembang kita harus dapat mengimbangi kebebasan bernegosiasi ini dengan faktor-faktor lingkungan dan kemanusiaan dimana proyek besar sedapat mungkin tidak menyingkirkan mereka yang masih tertinggal, ataupun perusakan satu lingkungan bangunan kuno yang seharusnya dikonservasikan. Untuk itu kita perlu ide-ide inovatif yang berangkat dari kenyataan yang hampir pasrah.

No comments:

Post a Comment