Friday, February 13, 2015

Menyingkirkan Beban Budaya Kita

Rumah Panjang Dayak di Kabupaten Murung Raya, Prov. Kalteng

Horisontalisme, mungkin satu istilah yang paling tepat untuk menunjuk arsitektur Indonesia. Dari pintu gerbang yang beratap Semar Tinandu, pendopo keraton lengkap dengan bangunan - bangunan lain di dekatnya, hingga ke rumah panjang suku Dayak di Kalimantan, selalu bermain dengan kombinasi garis dan bidang datar. Irama vertikal dari kolom dan jendela tenggelam di dalam sentuhan Irama horisontal yang dominan. Sungguh sangat berbeda dengan gaya arsitektur Barok, Gotik, maupun Renaisance yang berkembang di Eropa, dimana lebih mengungkapkan skala Tuhan yang vertikal, garis - garis jendela dan kolom yang meninggi. Satu kebalikan yang sangat nyata dengan corak arsitektur kita.

Keseimbangan antara mikro dan makro kosmospun terung kap melalui susunan ruang. Makro kosmos dilambangkan dengan tempat hunian dalam ling kup keluarga, dimana pelbagai makna tersirat pada bentuk atap susunan ruang dalam, warna tiang atau soko guru. Dari situ terbaca pula strata sosial penghuninya. Sedang sebagai penghubung dengan makro kosmo atau jagad raya sebagai satuan yang lebih besar, terbaca melalui arah pintu gerbang, orientasi rumah dan sebagainya.

Kendatipun demikian, keunggulan arsitektur tradisional kita tentunya adalah lambang - lambang yang menyatu dengan wujud fisik bangunannya. Sepert jarak umpak, besarnya soko guru, jumlah usuk pada atap joglo memiliki angka - angka perhitungan yang rumit didasari angka - angka keramat yang menjadi mitos serta dipercayai angka - angka tadi tidak tepat akan membawa petaka bagi penghuninya. Maka dari itu, boleh, dikatakan bahwa masyarakat kita tak pernah lepas dari symbol, lambang yang mengisi kehidupannya.

No comments:

Post a Comment