Friday, February 13, 2015

Rasio

Tugu Adipura Di Semarang

Namun di dalam gejolak zaman yang semakin berteknologi canggih ini pralambang dan pasemon semakin sedikit yang mempercayainya. Masuknya akal logika Barat terlalu banyak menggeser mitos- mitos tradisional. Rupa - rupanya rasio mengusir kepercayaan akan kekuatan gaib yang dulu menjadi panutan hidup.

Di lain pihak rasio juga mengembangkan sifat - sifat masyarakat yang mencari lambang, atau simbol guna menutupi kejelekan yang ada. Ambil contoh jika kita akan merayakan peringatan hari Kemerdekaan, Pak Lurah memberi instruksi akan kerja bakti secara masal, mulai dari membersihkan selokan sampai mengapur dinding pagar, sehingga jika Pak Camat atau aparat pemerintahan yang lebih tinggi meninjau, seluruh jalan di Kalurahan itu nampak bersih. Walaupun seminggu setelah perayaan pagar yang putih dikencingi kembali, sedang selokan yang lancar, kembali menjadi tempat pembuangan sampah.

Lucunya, sekarang ini pralambang  menjadi semacam ukuran sesuatu yang dianggap  baik' dan bahkan "bergengsi'. Piala Adipura misalnya, piala penghargaan bagi kota - kota yang menurut penilaian adalah kota yang bersih, kini seakan - akan menjadi gadis cantik yang dikejar mati - matian. Sehingga beberapa waktu yang lalu kota Solo gempar karena muncul larangan untuk ti-dak menyebar kembang pada iring - iringan jenasah. Alasan-nya kembang - kembang tadi akan mengotori jalan, menggangu keindahan kota. Nampak kiranya bahwa kembang yang menjadi pralambang kematian  ditafsir secara rasional menjadi sesuatu yang tabu. Sedang Adipura yang sekedar piala penghargaan berubah menjadi mitos baru lambang kesempurnaan pengelolaan perkotaan, tolok ukur kesuksesan pembangunan kota yang seolah - olah tidak dapat dibantah lagi.

No comments:

Post a Comment