Thursday, February 12, 2015

Kesimpulan

Sungai Semarang sebagai “embryo” kota merupakan pertemuan dari tiga etnik: Pribumi, Tionghoa dan Belanda. Daerah di sekitar istana Bupati (kemudian menjadi kantor bupati), Pecinan, dan kota Belanda merupakan cikal bakal daerah perdagangan yang terus menerus berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini, walaupun pemukim Belanda dan istana bupati telah lenyap dan pusat perdagangan baru dengan gedung-gedung mewah bermunculan di Selatan seperti Simpang Lima, daerah perdagangan lama ini tetap ada sebagai pusat perdagangan regional.

Di samping Pecinan, ada juga jalan-jalan perbelanjaan di sepanjang tiga jalan utama. Orang Tionghoa selalu memiliki pola tata ruang permukiman yang strategis. Karena itu Pecinannya merupakan area perdagangan yang ideal jika dikaitkan dengan pola jalannya, letak kelentengnya di pertigaan untuk menghadang sumbu jalan di depannya yang membawa Sha, dan letak kuburan yang tepat dari sudut Fengshui. Didalam pembahasan selanjutnya akan dikemukakan bagaimana mereka mengadaptasi kondisi  ideal di Tiongkok ini ke dalam satu kondisi yang berbeda di Jawa.

Peran orang Tionghoa dalam transformasi kota tidak dapat dilepaskan dari konsentrasi pembangunan industri secara nasional di kota-kota besar. Konstelasi seperti ini mengakibatkan kemunduran daerah pedesaan dan sebaliknya mempercepat pertumbuhan kota. Migrasi besar-besaran dari desa ke kota tidak dapat dihindari lagi. Industri baru, pusat perbelanjaan dan perkantoran memberikan kesempatan kerja bagi penduduk desa. Karena mereka miskin, mereka tinggal di perkampungan kumuh. Di Semarang setidaknya terdapat 400 ribu orang atau sepertiga jumlah penduduknya tinggal di daerah kumuh. 28)

Untuk mengatasi masalah permukiman kumuh ini, dua macam pendekatan diterapkan di kota-kota besar di pulau Jawa. Pendekatan pertama adalah perluasan kota dengan bangunan berlantai satu atau dua dan rumah inti di pinggiran kota. Pendekatan ini sangat populer dan investor tertarik untuk mendapatkan keuntungan dari model ini.29) Tetapi, pendekatan ini menimbulkan perluasan kota yang tidak terkontrol dengan mencaplok banyak area persawahan dan perkebunan. Pembangunan perumahan baru ke arah Timur dan Selatan menyebabkan kota-kota kecil yang dulu terpisah, menjadi satu dengan Semarang. Tiada bukit di Semarang Selatan yang tidak dibeli investor untuk perumahan. Kota terfragmentasi menjadi sub-sub pusat baru di pinggiran tanpa infrastruktur yang memadai. Pola pembangunan horisontal ini juga di pakai oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk merintis perumahan tolong – diri (self-help housing) yang murah. Para peminat rumah murah ini membangun rumah mereka sendiri secara gotong royong dan LSM menyediakan tanah dan menyediakan prasarana, serta menyiapkan disain rumah intinya. Walaupun lokasinya jauh dari pusat kota, banyak rakyat kecil, yang biasanya hidup di sektor informal, suka tinggal disini. Dengan mengambil area luas di pinggiran kota, pendekatan ini tentu saja tidak ramah terhadap lingkungan


Pendekatan kedua adalah mengubah perkampungan kumuh dengan mengakomodasikan gedung bertingkat untuk apartemen dan kondominium. Pendekatan ini memberi nafas bagi Lingkungan dalam hal mengurangi kecepatan dan dampak perluasan yang tidak terkontrol. Dengan ide ini, pihak kota (dulu disebut kotamadya) membangun beberapa kondominium di perkampungan Pekunden, selatan Sungai Semarang.30) Pendekatan vertikal ini memberikan kejutan budaya (Cultural schock) sebab pada umumnya orang Indonesia lebih memilih hidup langsung di atas tanah. Proyek yang semula ditentang para penduduk ini, sekarang sudah terrealisasi dan menurut pengamatan lapangan berhasil dengan baik. 



Peta Pertumbuhan Semarang

No comments:

Post a Comment