Kantor Residen
Setelah memasuki jaman Kemerdekaan, bentuk pemerintahan kota Semarang diubah ke administrasi kota besar yang memerintah di seluruh wilayah kota. Struktur administrasi ini merefleksikan satu kota tanpa diskriminasi rasial. Daerah pedesaan di luar kota dimasukkan ke dalam pemerintahan kabupaten dengan kantor di kantor Bupati lama. Di tahun 1983, kantor kabupaten Semarang dipindah ke Ungaran, kota kecil di Selatan Semarang dan kantor kabupaten yang lama diubah menjadi gedung bioskop dan pengembangan pasar Johar. 21)
Di tahun 60an pihak pemerintah kotapraja mengembangkan daerah di Selatan sungai Semarang. Sebuah lapangan juga dibangun di ujung Pieter-Sythofflaan, di atas dataran yang sebelumnya merupakan rawa-rawa dan merencanakan tata guna tanah di sekitar lapangan tadi untuk pusat pemerintahan. Lapangan ini secara resmi dibuka tahun 1969 oleh Gubernur Jawa Tengah waktu itu Munadi sebagai ganti alun-alun di depan kantor kabupaten yang akan dijadikan pengembangan pasar.21) Selaras dengan pembangunan di Pieter-Sythoff-Laan (sekarang dinamai Jl Pandanaran), yang disertai dengan perencanaan perumahan baru dan jalan-jalan yang menghubungkan Timur dan Barat Semarang, Simpang Lima menjadi tempat strategis untuk investasi. Dua gedung bioskop dan dua pusat perbelanjaan di bangun oleh para investor Tionghoa. Lama kelamaan di sekitar lapangan ini muncul perumahan dan Universitas Diponegoro. Saat ini Simpang Lima adalah tempat yang paling menyenangkan untuk jalan-jalan di Semarang karena terdapat pusat perbelanjaan, hotel dan perkantoran yang mewah.
Di tahun 1976 Semarang diperluas dari 100 Km² dengan 712.000 penduduk menjadi 340 Km² dengan satu juta penduduk dengan memasukkan desa-desa di sekitarnya menjadi wilayah kota. Semarang menjadi kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.22) Perluasan wilayah kota ini memicu pembangunan perumahan yang demikian cepat di daerah pinggiran yang terfragmentasi ke arah Barat, Selatan dan Timur. Perusahaan realestat swasta membangun perumahan baru di pinggiran kota sebelah selatan sampai ke arah perbukitan Banyumanik. Dan Bahkan di akhir dekade 90an sebuah real estat dari Jakarta membangun kota mandiri di Mijen yang mengambil daerah hutan karet. Pembangunan ini menempati jalur hijau yang seharusnya dilindungi untuk menahan run-off air hujan Sebaliknya, perumahan di bagian utara mengambil area rawa-rawa yang seharusnya dipakai untuk menampung luapan air hujan. Semarang menjadi kota yang tidak terkontrol pembangunannya, tidak dapat diprediksi dan diarahkan. ) Akibatnya adalah rob yang menghantui kota ini hingga saat ini. Beberapa usaha pemerintah untuk mengusir banjir ini seperti dengan membuat polder, tidak ada hasilnya, malah menambah masalah baru.
Saat ini luas kota Semarang 374 Km²; 34.80% dari luasan ini merupakan dataran rendah dan sisanya daerah perbukitan (gambar 3.20). ) Populasi kota ini telah mencapai lebih dari 1.12 juta jiwa,25) di antaranya adalah orang Tionghoa sebesar 5%.26) Bagian terbesar dari dataran rendahnya berada pada ketinggian 0 – 3.49 m dari permukaan laut, dengan panjang pantai 5 km dan 5 km ke arah daratan. Walaupun iklimnya tropis basah, kota ini tidak dilengkapi dengan saluran air hujan yang memadai. Sehingga selalu dilanda banjir terlebih-lebih setelah pembangunan perumahan yang tidak terkendali di pinggiran kota seperti telah di jelaskan di muka. Tiga jalan utama: Jalan Pemuda, poros Jalan Pandanaran – Jalan A Yani, dan Jalan Mataram, membentuk segitiga emas untuk daerah perdagangan dan pertokoan. Di tengah segitiga emas ini terletak Pecinan dengan kepadatan penduduk 247 Jiwa/ha.27)
Selain stasiun Kereta Api Tawang di Utara, Semarang juga memiliki terminal bis sentral di sebelah Timur yang merupakan terminal bis terbesar di Jawa tengah. Di kota ini juga ada pelabuhan samudra internasional yang terbesar ketiga di pulau Jawa dan sebuah airport di Semarang Barat. Di tahun 1975 Jalan lingkar kota sudah direncanakan dan sejak tahun 80an beberapa bagian mulai dibangun sebagai jalan toll. Jalan lingkar ini untuk mengurangi lalulintas bis dan truk yang melintasi tengah kota. Tetapi hingga jalan lingkar yang menghubungkan Kaligawe dan Srondol, bis luar kota masih saja melewati dalam kota sebab disitulah mereka mendapatkan penumpang. Pertumbuhan kota yang demikian cepat ini dipacu oleh pertumbuhan daerah industri di daerah pinggiran dan banyak buruh pabrik yang pulang pergi tiap hari dari pedesaan.
Kebalikan dari pertumbuhan daerah pinggiran, kota belanda (biasa disebut kota lama) mengalami kemunduran. Bangunan-bangunan yang dulu merupakan perkantoran, sekarang banyak yang kosong dan tidak banyak investor yang mau menanam modal disana. Kawasan bersejarah ini sekarang sangat sepi di malam hari, beberapa bagian malahan untuk ajang penjaja seks. Kemunduran daerah ini juga dikarenakan oleh banjir air laut yang pasang. Perbaikan yang tambal sulam seperti menaikan ketinggian jalan dengan paving blok nampaknya bukan cara konservasi yang tepat.
Dalam kurun waktu seratus lima puluh tahun semenjak pertengahan abad ke 19, terutama setelah orde baru, secara menakjubkan, Semarang telah tumbuh sepuluh kali lebih luas.
Di tahun 60an pihak pemerintah kotapraja mengembangkan daerah di Selatan sungai Semarang. Sebuah lapangan juga dibangun di ujung Pieter-Sythofflaan, di atas dataran yang sebelumnya merupakan rawa-rawa dan merencanakan tata guna tanah di sekitar lapangan tadi untuk pusat pemerintahan. Lapangan ini secara resmi dibuka tahun 1969 oleh Gubernur Jawa Tengah waktu itu Munadi sebagai ganti alun-alun di depan kantor kabupaten yang akan dijadikan pengembangan pasar.21) Selaras dengan pembangunan di Pieter-Sythoff-Laan (sekarang dinamai Jl Pandanaran), yang disertai dengan perencanaan perumahan baru dan jalan-jalan yang menghubungkan Timur dan Barat Semarang, Simpang Lima menjadi tempat strategis untuk investasi. Dua gedung bioskop dan dua pusat perbelanjaan di bangun oleh para investor Tionghoa. Lama kelamaan di sekitar lapangan ini muncul perumahan dan Universitas Diponegoro. Saat ini Simpang Lima adalah tempat yang paling menyenangkan untuk jalan-jalan di Semarang karena terdapat pusat perbelanjaan, hotel dan perkantoran yang mewah.
Di tahun 1976 Semarang diperluas dari 100 Km² dengan 712.000 penduduk menjadi 340 Km² dengan satu juta penduduk dengan memasukkan desa-desa di sekitarnya menjadi wilayah kota. Semarang menjadi kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta.22) Perluasan wilayah kota ini memicu pembangunan perumahan yang demikian cepat di daerah pinggiran yang terfragmentasi ke arah Barat, Selatan dan Timur. Perusahaan realestat swasta membangun perumahan baru di pinggiran kota sebelah selatan sampai ke arah perbukitan Banyumanik. Dan Bahkan di akhir dekade 90an sebuah real estat dari Jakarta membangun kota mandiri di Mijen yang mengambil daerah hutan karet. Pembangunan ini menempati jalur hijau yang seharusnya dilindungi untuk menahan run-off air hujan Sebaliknya, perumahan di bagian utara mengambil area rawa-rawa yang seharusnya dipakai untuk menampung luapan air hujan. Semarang menjadi kota yang tidak terkontrol pembangunannya, tidak dapat diprediksi dan diarahkan. ) Akibatnya adalah rob yang menghantui kota ini hingga saat ini. Beberapa usaha pemerintah untuk mengusir banjir ini seperti dengan membuat polder, tidak ada hasilnya, malah menambah masalah baru.
Saat ini luas kota Semarang 374 Km²; 34.80% dari luasan ini merupakan dataran rendah dan sisanya daerah perbukitan (gambar 3.20). ) Populasi kota ini telah mencapai lebih dari 1.12 juta jiwa,25) di antaranya adalah orang Tionghoa sebesar 5%.26) Bagian terbesar dari dataran rendahnya berada pada ketinggian 0 – 3.49 m dari permukaan laut, dengan panjang pantai 5 km dan 5 km ke arah daratan. Walaupun iklimnya tropis basah, kota ini tidak dilengkapi dengan saluran air hujan yang memadai. Sehingga selalu dilanda banjir terlebih-lebih setelah pembangunan perumahan yang tidak terkendali di pinggiran kota seperti telah di jelaskan di muka. Tiga jalan utama: Jalan Pemuda, poros Jalan Pandanaran – Jalan A Yani, dan Jalan Mataram, membentuk segitiga emas untuk daerah perdagangan dan pertokoan. Di tengah segitiga emas ini terletak Pecinan dengan kepadatan penduduk 247 Jiwa/ha.27)
Selain stasiun Kereta Api Tawang di Utara, Semarang juga memiliki terminal bis sentral di sebelah Timur yang merupakan terminal bis terbesar di Jawa tengah. Di kota ini juga ada pelabuhan samudra internasional yang terbesar ketiga di pulau Jawa dan sebuah airport di Semarang Barat. Di tahun 1975 Jalan lingkar kota sudah direncanakan dan sejak tahun 80an beberapa bagian mulai dibangun sebagai jalan toll. Jalan lingkar ini untuk mengurangi lalulintas bis dan truk yang melintasi tengah kota. Tetapi hingga jalan lingkar yang menghubungkan Kaligawe dan Srondol, bis luar kota masih saja melewati dalam kota sebab disitulah mereka mendapatkan penumpang. Pertumbuhan kota yang demikian cepat ini dipacu oleh pertumbuhan daerah industri di daerah pinggiran dan banyak buruh pabrik yang pulang pergi tiap hari dari pedesaan.
Kebalikan dari pertumbuhan daerah pinggiran, kota belanda (biasa disebut kota lama) mengalami kemunduran. Bangunan-bangunan yang dulu merupakan perkantoran, sekarang banyak yang kosong dan tidak banyak investor yang mau menanam modal disana. Kawasan bersejarah ini sekarang sangat sepi di malam hari, beberapa bagian malahan untuk ajang penjaja seks. Kemunduran daerah ini juga dikarenakan oleh banjir air laut yang pasang. Perbaikan yang tambal sulam seperti menaikan ketinggian jalan dengan paving blok nampaknya bukan cara konservasi yang tepat.
Dalam kurun waktu seratus lima puluh tahun semenjak pertengahan abad ke 19, terutama setelah orde baru, secara menakjubkan, Semarang telah tumbuh sepuluh kali lebih luas.
No comments:
Post a Comment