Thursday, February 12, 2015

Pembangunan Abad 20 Sebelum Kemerdekaan

 Candi Baru

Dengan laju pertumbuhan ekonomi di  daerah perkotaan semenjak dihapusnya Cultuurstelsel mengakibatkan kepadatan penduduk yang tinggi dan lingkungan tidak sehat. Di awal abad ke 20 tingkat kematian di kota Semarang menjadi lebih besar dari pada tingkat kematian di negara-negara Eropa. Tingkat kepadatan penduduk di Pecinan mencapai 1000 orang/ha dan tingkat kematian mencapai 64,3/1000 orang.14) Akibatnya, karena pihak kotapraja melihat Pecinan sebagai tempat yang tidak sehat, orang Tionghoa diijinkan untuk tinggal diluarnya.

Di tahun 1915 pemerintah Hindia Belanda menghapuskan wijkenstelsel.15) Semenjak itu banyak orang Tionghoa yang mendirikan rumah – toko (ruko) di sepanjang Bojongsche weg (sekarang jalan Pemuda) di sebelah barat, demikian pula di sepanjang jalan Ambengan (sekarang Jalan Mataram) dan jalan Karangturi (Sekarang Jalan Dr. Cipto) sampai dengan Peterongan di sebelah selatan, serta villa di Karre weg di Timur.

Untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan sosial, di tahun 1914 pemerintah kotapraja ingin membangun perumahan baru yang sehat di perbukitan disebelah Selatan kota. Area permukiman baru ini dinamai Nieuw Tjandi (Candi Baru) – karena telah ada Oude Tjandi (Candi Lama) di sebelah Timurnya.16) Tetapi, pemerintah kotapraja tidak dapat menentukan keputusan final, sampai Thomas Karsten,17) penasehat perencanaan kota, menurunkan sebuah proposal perencanaan yang kemudian dilaksanakan tahun 1917.18)

Pola jalan di Candi Baru hasil rancangan Karsten merupakan adaptasi terhadap topografinya (gambar 3.13). Area perumahan ini merupakan komposisi dari satu jalan utama (sekarang jalan  Letjen S. Parman), jalan-jalan sekunder, dan sejumlah gang bertangga yang menuruni tebing perbukitan. Ruang-ruang terbuka seperti bundaran dan taman di rancang sangat atraktif di berbagai titik. Rumah-rumah mewah dengan kapling yang luas diletakkan di sepanjang jalan utama denga pemandangan bagus ke kota dan laut. Di balik  rumah-rumah mewah ini dibangun rumah yang lebih murah di atas kapling yang lebih kecil. 

Beberapa diantara rumah murah ini lebih rendah dari jalan dan dicapai melalui gang tersebut di atas. Orang-orang Tionghoa yang kaya tinggal di perumahan mewah ini bertetangga dengan orang Belanda papan atas.17) Yang patut di simak dari Karsten adalah usulannya bahwa pembagian perumahan sebaiknya bukan berdasarkan pada kelompok etnis tetapi pada kelompok kelas ekonomi.13) Pada prakteknya, karena kelas ekonomi atas dikuasai oleh orang Belanda dan sebagian orang Tionghoa, dan golongan menengah di dominasi oleh etnik Tionghoa dan sebagian Belanda, serta golongan ekonomi bawah merupakan etnik Pribumi, pengelompokan etnik pada perumahan terbentuk dalam kelompok etnik, walaupun tidak direncanakan.18)

Dari tahun 1919 sampai dengan tahun 1929, pemerintah juga membangun perumahan di Semarang Timur dengan pola jalan grid terdiri dari jalan utama dan jalan sekundair. Pada jalan utama yang merupakan boulevard tinggal kelompok pendapatan menengah baik Tionghoa maupun Belanda dan rumah-rumah di sepanjang jalan sekundair dihuni oleh golongan ekonomi bawah yang sebagian besar Pribumi. Pembangunan perumahan ini dilanjutkan di Sompok yang terletak di Semarang Tenggara sampai dengan pendudukan Belanda di tahun 1942 sampai dengan 1945, suatu masa dimana tidak ada pembangunan sama sekali karena perang.19)

Ketika Jepang menduduki Semarang, sistem pemerintahan yang berdasarkan kelompok etnis di hapuskan. Sebagai gantinya pemerintah militer Jepang mengontrol administrasi semua kelompok etnis di dalam kota, sedang Bupati mengurusi administrasi daerah di luar wilayah kota.20)

No comments:

Post a Comment