Friday, February 13, 2015

Wayang dan Inovasi

Sobokarti

Barangkali ada baiknya inovasi-inovasi perencanaan kota Semarang belajar dari usaha-usaha inovatif modernisasi wayang kulit. Perlunya inovasi-inovasi di dalam pagelaran wayang kulit sehingga tradisi yang adiluhung ini dapat bersinambung, atau dengan kata lain diteruskan oleh generasi muda serta mampu menjadi satu pertahanan budaya di dalam menghadapi era globalisasi. Wayang Kulit seharusnya lebih menarik daripada  film-film holywood yang semuanya serba kekerasan, serba sensasi dan serba Amerika.

Inovasi di dalam perencanaan kota dan arsitektur muncul di Berlin dengan International Bau Austellung dimana para arsitek bereksperimen dengan berbagai pendekatan untuk menemukan bentuk urban design yang baru dan sesuai dengan konsepsi modern mereka. Mulai dari Aldo Rossi tokoh yang terkenal dengan bukunya 'L'architectura della citta' (Arsitektur kota) mendekati arsitektur lewat typo-morphology, sampai dengan Rem Koolhas yang Deconstructivist. Semuanya diatur secara kontekstual sehingga memberi nilai lebih bagi tatanan kota Berlin.

Demikian pula di Paris seperti karya IM Pei di La Louvre sebuah museum di bawah tanah. Dengan mempertahankan bangunan kuno di atasnya, Pei membangun sebuah Piramid kaca sebagai entrance museum di tengah plaza La Louvre. Demikian pula dengan experimen arsitektur di kota ini seperti Kota Paris baru dengan La Grande Arche karya Johan Otto von Spreckelsen yang wafat sebelum karyanya selesai dan dilanjutkan oleh Paul Andreu. Paris a la Mitterand; “satu-satunya presiden setelah Charles de Gaulle yang paling ambisius dengan bangunan adalah : Francois Mitterand, sebuah monarki presidensial”, begitu kritik majalah internasional 'Time' (lihat Time 18 September 1989). Bagaimanapun juga paris tetap sebuah kota yang penuh dengan inovasi di tengah-tengah konservasi, sehingga segalanya menjadi kontradiktif tetapi kontekstual terhadap lingkungannya.

Dari contoh Berlin dan Paris diatas yang penuh negosiasi antara interpreneur dan penguasa, sementara proses negosiasi juga tak terbendung di Semarang, mengapa kita tidak mencontoh gerakan-gerakan para dalang dan wayang kulitnya untuk memperbaharui arsitektur dan kota kita?

Arsitektur inovatif harus bebas tanpa dihalangi bentuk-bentuk tradisional seperti bangunan dengan tujuh lantai kemudian di beri 'topi’ Joglo. Arsitektur inovatif adalah arsitektur pembebasan. Sama halnya dengan modernisasi wayang kulit, arsitektur pembebasan adalah usaha membebaskan arsitektur dan kota yang dicengkeram oleh konsepsi identitas yang disalah tafsirkan. Identitas kota Semarang adalah inovasi dan konservasi bangunan dan ruang kota yang berjalan searah tanpa batas.

Sudah saatnya pembangunan kota yang penuh negosiasi ini belajar dari gerakan inovasi wayang kulit yang semakin kreatif dan menarik. Seperti Thomas Karsten yang di awal abad 20 mendisain gedung theater dengan inovasi baru yakni perkawinan arsitektur tradisional dengan fungsi yang modern. Dia mendisain tempat duduk yang mengelilingi panggung dan memperlihatkan konsep Jawa dalam theater modern. Sayang sampai sekarang belum ada penelitian serius tentang Sobokarti yang ditinggalkan oleh gerak Semarang yang modern.

No comments:

Post a Comment